Menyatukan Puzzle dalam Bingkai Karakter di Sekolah


Oleh Agung Rahmanto,S.H., M.Pd.

Barisan mobil para pengantar mengular di sepanjang jalan setapak sebuah sekolah. Menjadi pemandangan sekolah yang berada di tengah pemukiman padat penduduk setiap pagi. Para guru mengenakan batik khas Jogja berdiri berjajar menyambut kehadiran siswa sambil membukakan pintu mobil orang tua.  Tampak seorang anak hendak turun dari mobil orang tuanya. Tangan mungilnya menerima jabat tangan sosok yang dikenalnya, sembari tersenyum dan menjawab salam ramah dari orang nomor satu di sekolah itu. Seolah tersirat kepercayaan orantua menitipkan putra-putrinya di sekolah itu.
Terlihat siswa laki-laki mengenakan baju serba putih, bedeker hitam putih di pergelangan tangan. Sesekali tangannya yang terbungkus kaos tangan putih membetulkan topi polisi kecinya. Butiran keringat menjadi saksi kegiatan setiap  pukul enam pagi. Senyum manisnya mengembang ketika menyambut kedatangan teman-teman sekolah mereka. Keramahan para polisi cilik sekolah terlihat ketika membantu adik kelas yang menenteng bekal sekolah. “Assalamu’alaikum” kata yang terucap kepada adiik kelasnya. “Wa’alaikum salam, terimakasih kak,” jawab anak itu kepada kakak kelasnya.
Terbersit pertanyaan bagi pengendara lain yang tak terbiasa melintasi  dan menyaksikan aktivitas sepagi itu. Budaya yang tak biasa tampak di sekolah lain. Guru dan kepala sekolah membaur menyambut kehadiran siswa. Apa gerangan yang menyebabkan sekolah ini menjadi tujuan pendidikan bagi orangtua. Sekolah ini mampu bertahan di tengah persaingan pendidikan di kota pelajar. Bukan karena program sekolah gratis yang selama ini menjadi harapan masyarakat. Ada magnet kuat yang mampu mengikat masyarakat untuk menjadi bagian dari sekolah ini.
Sementara guru kelas berdiri di depan kelas menyambut kehadiran siswa. Ucapan salam terucap manakala siswa lupa mengucapkan salam, tangannya mengusap kepala siswanya. Senyum mereka mengembang seoalah bertemu orang tuanya di sekolah. Suasana kelas tidak terlalu ramai meski hampir semua siswa telah datang. Beberapa siswa mengerjakan 2 soal untuk latihan pagi, beberapa diantara mereka sibuk melihat buku bergambar dari perpustakaan kelas mereka.
Di ruangan lain, seorang guru bersama beberapa siswa melakukan pembinaan khusus bidang matematika dan sains. Raut wajah mereka sedikit serius namun suasana terasa santai ketika membahas soal yang diselingi dengan diskusi. Tidak ada beban di wajah mereka sekalipun mempelajari materi olimpiade matematika yang selama ini menjadi momok bagi siswa. “Matematika itu menantang, semakin susah semakin tertantang untuk menyelesaikan,” celetuk salah satu dari mereka.
Sekolompok siswa mengenakan rompi hijau dengan gagah berjalan menuruni anak tangga. Tangan kirinya memegangalat penyemprot dengan kaos tangan karet. Dedaunan terlihat segar kembali manakala siraman air dari botol penyemprot tanaman para Bergada Hijau beraksi. Bersama para Kader lingkungan, bahu membahu membersihkan lingkungan dan merawat kebun milik sekolah. Sementara para relawan kelas yang tergabung dalam pustakawan kecil membawa puluhan buku menuju perpustakaan, guna ditukarkan dengan buku lain untuk kelas mereka.
Ketika memutuskan untuk memasukkan ke sebuah sekolah, tentu ada alasan yang mendasar. Mereka menitipkan putra-putri bukan saja ingin pandai, namun juga berguna bagi orang lain. Pembelajaran sekolah bukan lagi sekedar menuangkan materi dalam bentuk kurikulum yang berakhir dengan penialain dalam bentuk ujian akhir dan ulangan-ulangan. Pendidikan dikatakan berhasil manakala antara proses kognitif, psikomotorik, dan afektif berjalan seimbang.
Menjelang siang  mereka bersiap untuk mengakhiri pelajaran setelah menjalankan ibadah sholat. Rupa-rupa kegiatan semakin terlihat di sekolah ini, seolah tiada henti dari aktivitas kegiatan menjelang sore hari. Di sebuah galeri, tercium aroma khas bahan batik. Sesekali mereka meniup cairan malam dari lubang canting. Goresan tinta canting berwarna coklat membentuk aksen khas batik Jogja. Sayup-sayup terdengar ketukan irama khas  menjadi harmoni gending Jawa, pertanda kelas karawitan dimulai.
Keluar dari area sekolah, di lapang teriakan sejumlah siswa memekikkan kemenangan ketika bola tak mempu melampaui net takraw. Suara peluit pelatih terdengar silih berganti sebagai sebuah komando olah raga atletik dan panahan akan segera dimulai. Berbagai peralatan panahan dan atletik mereka persiapkan bersama para pelatih. Tidak terdengar keluahan dari mereka. Kegiatan ekstrakulikuler mereka pilih berdasar minat mereka. “Sangat menyenangkan.”
 Kegiatan yang menggali potensi terakomoodir dalam 30 jenis ekstrakulikuler di sekolah bakat ini. Bukan sebuah beban bagi mereka mengikuti kegiatan ini, tidak ada keluhan tampak keceriaan menghiasi wajah mereka. Berbagai bidang seni, bidang olah raga, bidang sains tertampung. Peluang telah diberikan oleh sekolah. Kegigihan bocah-bocah ini tentu membuahkan hasil. Berbagai jenis kejuaraan diraih dari pembinaan potensi. Tak heran nama sekolah selalu menghiasi media surat kabar.

Ibnu Sina pernah mengatakan bahwa manusia tidak berhubungan dengan rasa saja, akan tetapi juga rasa. Bukan raga namun juga jiwa. Sekolah menjadi kawah candradimuka dalam membentuk raga yang kuat yang diimbangi dengan melejitnya jiwa siswa.
Jika boleh membahasakan ulang proses pelejitan jiwa mengarah pada aspek karakter yaitu berkaitan dengan budi pekerti, kepribadian yang sehat dan bertanggungjawab. Misalnya, kejujuran, kesantunan, kebersamaan, kemandirian, dan tanggung jawab.
Sekolah yang peduli terhadap aspek karakter, akan mengantarkan siswa menjadi generasi dengan jiwa-jiwa berkelas, mampu meyelesaikan masalah, tanpa meninggalkan identitas dirinya. Makna identitas diri adalah rasa percaya diri dan mampu mengolah potensi diri.
Setiap siswa adalah sosok individu yang menarik dan komplek. Mereka memiliki potensi masing-masing di bidangnya. Dibutuhkan cara dalam menggali setiap potensi yang berkembang dalam diri mereka. Aktualisasi dalam bentuk afektif dan psikomotorik akan membantu menemukan potensi. Adannya keseimbangan antara olah raga, olah rasa, dan olah karsa akan memotivasi siswa menanamkan pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari.
Potensi dan karakter tentu memiliki makna yang berbeda. Kejelian sekolah  memadukan keduanya menjadikan sekolah memiliki perbedaan di mata orang tua. Potensi siswa ibarat puzzle-puzzle berserakan, jika disusun akan menjadi lukisan indah. Keindahan lukisan tidak akan cukup tanpa polesan karakteristik sebagai identitas si pemilik. Ya, sekolah yang unik mampu memberikan peluang terhadap potensi siswa dengan balutan nilai karakter.
Nilai-nilai karakter dapat di integrasikan dalam materi sekolah seperti budaya sekolah, ekstrakulikuler, serta integrasi mata pelajaran. Pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah. Pencapaian di bidang ekstakulikuler mampu memupuk karakter nilai kedisiplinan, kerjasama, sportivitas, kerjasma, suka menolong, empati, toleransi, dan sebagainya. Sedangkan guru dapat menggunakan pendekatan pembelajaran akademik, disiplin kelas, mengembangkan perilaku, dan meningkatkan motivasi dalam kelas
Saatnya pendidikan kembali menjunjung aspek pelejitan jiwa hingga sejajar dengan aspek raga. Proses pendidikan yang menekankan pada aspek kognitif saja tidak akan mampu mengantarkan jiwa-jiwa berkarakter berkelas global. Pendekatan aspek psikomotorik  dan afektik harus berjalan seimbang dengan aspek kognitif siswa.

Bingkai jiwa karakter sekolah Anda dengan mengumpulkan puzzle potensi melalui berbagai aktualisasi yang beragam. Jadikan sekolah Anda pertunjukan simphoni indah yang memikat setiap orang yang menyaksikannya.

Komentar